PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DI INDONESIA

Selasa, 25 September 2012

I. Pendahuluan
Dalam upaya merekonstruksi kebangkitan suatu masyarakat, negara, bahkan peradaban umat manusia, keberadaan mabda (ideologi) merupakan salah satu aspek penting yang menentukan kebangkitan dan pembentukan peradaban tersebut. Mabda merupakan aqidah aqliyah (difahami melalui proses berfikir) yang melahirkan segenap peraturan untuk memecahkan berbagai problematika kehidupan manusia . Dengan memahami bahwa masyarakat adalah sekumpulan individu yang memiliki pemikiran dan perasaan yang sama serta diikat oleh peraturan kehidupan yang sama maka rekonstruksi suatu masyarakat dapat dilakukan dengan perubahan terhadap unsur 2MQ yaitu mengubah Mafahim (pemahaman, cara berfikir), Maqayis (perasaan-perasaan) serta Qanaat (ketaatan, keterikatan terhadap nilai-nilai). Masyarakat yang memiliki maqayis, mafahim, dan qanaat yang bersumber dari mabda kapitalisme maka kehidupannya senantiasa berjalan di atas rel ‘Sekulerisme’ begitu pula dengan peradaban yang terbentuknya. Demikian halnya dengan mabda sosialisme-komunisme yang mengarahkan unsur 2MQ dalam masyarakat berjalan di atas rel ‘Dialektika Materialisme dan Atheisme’. Adapun dengan mabda islam, masyarakat hendak diarahkan agar memiliki landasan (qaidah) dan arahan/kepemimpinan (qiyadah) dalam berfikir, berperasaan serta mengikatkan diri pada peraturan yang bersumber dari aqidah dan syariah islam dalam menjalani kehidupannya. Bahkan dengan mabda islam tersebut umat manusia diarahkan untuk membangun sebuah peradaban yang mulia melalui tegaknya institusi negara yang menjamin terpeliharanya aqidah dan syariah tersebut dalam kehidupan.
Saat ini kehidupan kaum muslimin di berbagai negeri tengah didera oleh ideologi kapitalisme maupun sosialisme-komunisme. Tidak terkecuali dengan Indonesia yang merupakan salah satu negeri muslim terbesar di dunia kini tengah mengalami berbagai macam keterpurukan akibat mengemban ideologi tersebut. Secara praktis, mafahim, maqayis, dan qanaah yang dimiliki oleh masyarakatpun tidak sepenuhnya diberikan kepada Islam, melainkan kepada kapitalisme maupun sosialisme-komunisme. Oleh karena itu merupakan suatu kewajiban pula bagi kaum muslimin untuk mengembalikan unsur 2MQ tersebut kepada mabda Islam melalui aktifitas dakwah yang dilakukan secara berjamaah dalam berinteraksi dengan masyarakat hingga dapat menanamkan nilai-nilai baru ditengah-tengah masyarakat secara berkesinambungan.
Dalam pendekatan sistemik, diantara ushlub (strategi) dakwah yang dapat dilakukan adalah melalui perubahan sistem pendidikan nasional yang saat ini berkarakteristik sekuler agar menjadi sistem pendidikan yang berbasiskan syari’ah islam.
II. Fakta Pendidikan di Indonesia
Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan definisi ini, dapat difahami bahwa pendidikan nasional berfungsi sebagai proses untuk membentuk kecakapan hidup dan karakter bagi warga negaranya dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat, meskipun nampak ideal namun arah pendidikan yang sebenarnya adalah sekularisme yaitu pemisahan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh. Dalam UU Sisdiknas tidak disebutkan bahwa yang menjadi landasan pembentukan kecakapan hidup dan karakter peserta didik adalah nilai-nilai dari aqidah islam, melainkan justru nilai-nilai dari demokrasi.
Pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan) tersebut, sebagaimana terungkap dalam pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Sepintas, tujuan pendidikan nasional di atas memang tidak nampak sekuler, namun perlu difahami bahwa sekularisme bukanlah pandangan hidup yang sama sekali tidak mengakui adanya Tuhan. Melainkan, meyakini adanya Tuhan sebatas sebagai pencipta saja, dan peranan-Nya dalam pengaturan kehidupan manusia tidak boleh dominan. Sehingga manusia sendirilah yang dianggap lebih berhak untuk mendominasi berbagai pengaturan kehidupannya sekaligus memarjinalkan peranan Tuhan.
Keterpurukan yang diakibatkan dari penerapan sistem pendidikan nasional yang sekuler antara lain:
  1. Berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 saja menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (www.kompas.com).
  2. Laporan United Nations Development Program (UNDP) tahun 2004 dan 2005, menyatakan bahwa Indeks pembangunan manusia di Indonesia ternyata tetap buruk. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan ke-111 dari 175 negara. Tahun 2005 IPM Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara. Posisi tersebut tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Berdasarkan IPM 2004, Indonesia menempati posisi di bawah negara-negara miskin seperti Kirgistan (110), Equatorial Guinea (109) dan Algeria (108). Bahkan jika dibandingkan dengan IPM negara-negara di ASEAN seperti Singapura (25), Brunei Darussalam (33) Malaysia ( 58), Thailand (76), sedangkan Filipina (83). Indonesia hanya satu tingkat di atas Vietnam (112) dan lebih baik dari Kamboja (130), Myanmar (132) dan Laos (135) (www.suarapembaruan.com/16 juli 2004 dan Pan Mohamad Faiz. 2006).
  3. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak. Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang paling mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba. Pada tahun 2003, jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu meningkat tajam menjadi 1.793 anak (www.pikiran-rakyat.com). Selain itu, kalangan pelajar juga rentan tertular penyebaran penyakit HIV/AIDS. Misalnya di kota Madiun-Jatim, dari data terakhir yang dilansir Yayasan Bambu Nusantara Cabang Madiun, organisasi yang konsen masalah HIV/AIDS, menyebutkan kasus Infeksi Seksual Menular (IMS) yang beresiko tertular HIV/AIDS menurut kategori pendidikan sampai akhir Oktober 2007 didominasi pelajar SMA/SMK sebanyak 51 %, pelajar SMP sebesar 26%, mahasiswa sebesar 12% dan SD/MI sebesar 11% (news.okezone.com). Dalam hal tawuran, di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tingkat tawuran antar pelajar sudah mencapai ambang yang cukup memprihatinkan. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat, dalam satu hari di Jakarta terdapat sampai tiga kasus perkelahian di tiga tempat sekaligus (www.smu-net.com).
  4. Pencapaian APK (Angka Partisipasi Kasar) dan APM (Angka Partisipasi Murni) sebagai indikator keberhasilan program pemerataan pendidikan oleh pemerintah, hingga tahun 2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah, hal ini didasarkan pada indikator: (1) anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira 693.700 orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia 7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas, 2003). Rasio partisipasi pendidikan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf. (www.republikaonline.com) sampai sekarang masih terdapat 9 provinsi dengan jumlah buta aksara terbesar usia 10 tahun ke atas dan 15-44 tahun, yakni: Jawa Timur (1.086.921 orang), Jawa Tengah (640.428), Jawa Barat (383.288), Sulawesi Selatan (291.230), Papua (264.895), Nusa Tenggara Barat (254.457), Nusa Tenggara Timur (117.839), Kalimantan Barat (117.338), dan Banten (114.763 orang). (www.pikiran-rakyat.com).
  5. Data dari Balitbang Depdiknas 2003 yang menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-87,75% dari biaya pendidikan total. Sedangkan menurut riset Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006 di 10 Kabupaten/Kota se-Indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 Juta, yang terdiri atas biaya langsung dan tak langsung. Selain itu, beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat (selain orang tua/ siswa) hanya berkisar antara 12,22%-36,65% dari biaya pendidikan total (Koran Tempo, 07/03/2007). Menurut laporan dari bank dunia tahun 2004, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana penyelenggaraan pendidikan nasionalnya padahal pada saat yang sama pemerintah India telah dapat menanggung pembiayaan pendidikan 89%. Bahkan jika dibandingkan dengan negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, persentase anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah. (www.worldbank.com).
  6. Perumusan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang sudah berlangsung sejak 2004 dinilai oleh pengamat ekonomi Tim Indonesia Bangkit (TIB), Revrisond Bashwir sebagai agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi sektor pendidikan. Semua satuan pendidikan (sekolah) kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
  7. Kebijakan UN yang banyak ditentang oleh masyarakat karena dinilai diskriminatif dan hanya menghamburkan anggaran pendidikan, antara lain ditentang oleh Koalisi Pendidikan yang terdiri dari Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP), National Education Watch (NEW), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), The Center for the Betterment Indonesia (CBE), Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI), Forum Aksi Guru Bandung (FAGI-Bandung), For-Kom Guru Kota Tanggerang (FKGKT), Lembaga Bantuan Hukum (LBH-Jakarta), Jakarta Teachers and Education Club (JTEC), dan Indonesia Corruption Watch (ICW), berdasarkan kajian terhadap UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa kesenjangan (www.tokohindonesia.com).
  8. Rendahnya tingkat kesejahteraan guru yang berpengaruh terahadap rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. Guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
  9. Realisasi anggaran pendidikan yang masih sedikit. Ketentuan anggaran pendidikan dalam UU No.20/2003 pasal dinyatakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (ayat 1). Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana pendidikan dari APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja Pemerintah Pusat menurut APBN 2006 adalah sebesar Rp 427,6 triliun. Dari jumlah tersebut, jumlah yang dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp36,7 triliun. Sedangkan asumsi kebutuhan budget anggaran pendidikan adalah 20% dari Rp. 427,6 triliun atau sebesar Rp. 85,5 triliun, maka masih terdapat defisit atau kekurangan kebutuhan dana pendidikan sebesar Rp 47,9 triliun. Skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 (Pan Mohamad Faiz;2006).Tahun 2007 hanya mencapai 11,8 persen. Nilai ini setara dengan Rp 90,10 triliun dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun.(www.tempointeraktif.com).
  10. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. Pada tahun 2009 diperkirakan ada 116,5 juta orang yang akan mencari kerja (www.kompas.com).
Data di atas merupakan beberapa indikator yang menunjukan betapa sistem pendidikan nasional kita saat ini tengah didera oleh berbagai problematika, yang pada akhirnya penyelenggaraan pendidikan tidak dapat memberikan penyelesaian terhadap permasalahan pembentukan karakter insan yang berakhlak mulia, pembentukan keterampilan hidup, penguasaan IPTEK untuk peningkatan kualitas dan taraf hidup masyarakat, serta memecahkan berbagai problematika kehidupan lainnya. Padahal diantara tujuan semula pendidikan adalah untuk itu semua.
III. Pemecahan Masalah
1. Solusi Masalah Mendasar
Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Penyelesaian itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma pendidikan Islam. Hal ini sangat penting dan utama. Artinya, setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan dapat diselesaikan (yang antara lain dikelompokan menjadi masalah aksesibilitas pendidikan, relevansi pendidikan, pengelolaan dan efisiensi, hingga kualitas pendidikan).
Solusi masalah mendasar tersebut adalah dengan melakukan pendekatan sistemik yaitu secara bersamaan dan menyeluruh agar sistem pendidikan dapat berubah lebih baik maka harus pula dilakukan perubahan terhadap paradigma dalam penyelenggaraan sistem ekonomi yang kapitalistik menjadi islami, tatanan sosial yang permisif dan hedonis menjadi islami, tatanan politik yang oportunistik menjadi islami, dan ideologi kapitalisme-sekuler menjadi mabda islam, sehingga perubahan sistem pendidikan yang materialistik pun dapat diubah menjadi pendidikan yang dilandasi oleh aqidah dan syariah islam sesuai dengan karakteristiknya. Perbaikan semacam ini pun perlu dikokohkan dengan aspek formal, yaitu dengan dibuatnya regulasi tentang pendidikan yang berbasiskan pada konsep syari’ah Islam.
Upaya perbaikan secara tambal sulam dan parsial, semisal perbaikan hanya terhadap kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana-prasarana, pendanaan dan sebagainya tidak akan dapat berjalan dengan optimal sepanjang permasalahan mendasarnya belum diperbaiki. Salah satu bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dan menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan (Syari’ah) Islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.
2. Solusi Untuk Permasalahan Derivat (Turunan)
Permasalahan cabang dalam sistem pendidikan nasional kita diantaranya dapat dikelompokan sebagai berikut:
1)      Keterbatasan aksesibilitas dan daya tampung,; 2) Kerusakan sarana dan prasarana; 3) Kekurangan tenaga guru; 4) Kinerja dan kesejahteraan guru yang belum optimal; 5) Proses pembelajaran yang konvensional; 6) Jumlah dan kualitas buku yang belum memadai; 7) Otonomi Pendidikan; 8) Keterbatasan anggaran; 9) Mutu SDM Pengelola pendidikan; 10) Life skill yang dihasilkan belum optimal (Diknas Jabar. Makalah UPI EXPO 2006).
Untuk menyelasaikan masalah-masalah cabang di atas, diantaranya juga tetap tidak bisa dilepaskan dari penyelesaian terhadap masalah mendasar. Sehingga dalam hal ini diantaranya secara garis besar terdapat dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik. Yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, antara lain: sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, ideologi, dan lainnya. Penerapan ekonomi syari’ah sebagai pengganti ekonomi kapitalis ataupun sosialis akan menyeleraskan paradigma pemerintah dan masyarakat tentang penyelenggaraan pendidikan, dimana pendidikan sebagai salah satu kewajiban negara yang harus diberikan kepada rakyatnya dengan tanpa adanya pembebanan biaya yang memberatkan ataupun diskriminasi terhadap masyarakat yang tidak memiliki sumber dana (capital) untuk mengenyam pendidikan, karena pendanaan pendidikan harus dialokasikan dari kas negara, bukan dibebankan kepada rakyat sebagaimana Rasulullah Saw pernah mencontohkan dengan menetapkan tebusan bagi orang-orang kafir yang menjadi tawanan dalam perang Badar dengan mengajari masing-masing sepuluh anak kaum muslimin, padahal harta tebusan tersebut statusnya merupakan ghanimah yang akan disimpan dalam Baitul Maal (kas negara) dan menjadi milik kaum muslimin (Struktur Negara Khilafah hal.213: HTI Press). Atas dasar inilah jaminan pendidikan terhadap rakyat merupakan kewajiban negara.
Penerapan sistem politik islam sebagai pengganti sistem politik sekuler akan memberikan paradigma dan frame politik yang dilakukan oleh penguasa dan masyarakat, dimana politik akan difahami sebagai aktifitas perjuangan untuk menjamin terlaksananya pengaturan berbagai kepentingan ummat oleh penguasa termasuk diantaranya dalam menetapkan kebijakan bidang pendidikan, sehingga bukan malah sebaliknya menyengsarakan ummat dengan memaksa mereka agar melayani penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami sebagai pengganti sistem sosial yang hedonis dan permisif akan mampu mengkondisikan masyarakat agar memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kewajiban terikat pada hukum-hukum syari’at sehingga masyarakat akan menyadari pula bahwa peran mereka dalam mensinergiskan pendidikan di sekolah adalah sebagai pihak yang dapat memberikan tauladan sekaligus mengontrol aplikasi nilai-nilai pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah.
Secara keseluruhan perbaikan sistem ini akan dapat terlaksana jika pemerintah menyadari fungsi dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Rasulullah Saw bersabda:
“Seorang Imam ialah (laksana) penggembala dan Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya)”. (HR. Muslim)
Kedua, solusi teknis. Yakni solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan internal dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Diantaranya, secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik ummat, menyita kembali harta milik rakyat yang telah dicuri oleh para koruptor baik dari kalangan penguasa, aparat pemerintah mauapun para pelaku usaha. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintahpun dapat menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun yang belum bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) maupun menengah (SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang perguruan tinggi. Merekrut jumlah tenaga pendidik dan kependidikan sesuai kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya peningkatan kualitas dan kompetensi yang tinggi, jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka. Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas untuk menunjang proses belajar-mengajar. Penyusunan kurikulum yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’ah (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Melarang segala bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta menjamin terlaksananya pendidikan yang berkualitas dengan menghasilkan lulusan yang mampu menjalani kehidupan dunia dengan segala kemajuannya (setelah menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi serta seni baik yang berasal dari islam maupun dari non islam sepanjang bersifat umum) dan mempersiapkan mereka untuk mendapatkan bagiannya dalam kehidupan di akhirat kelak dengan adanya penguasaan terhadap tsaqofah islam dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
IV. Sistem Pendidikan Berbasis Syari’ah
Seperti diungkapkan di atas, bahwa sistem pendidikan Islam merupakan alternatif solusi mendasar untuk menggantikan sistem pendidikan sekuler saat ini. Bagaimanakah gambaran sistem pendidikan Islam tersebut? Berikut uraiannya secara sekilas.
1. Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter (khas) Islami. Antara lain:
Pertama, berkepribadian Islam (shaksiyah islamiyah). Ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (’aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada akidah Islam.
Untuk mengembangkan kepribadian Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu:
  1. Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah (akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam).
  2. Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.
  1. Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi akidah yang diyakininya.
Kedua, menguasai perangkat ilmu dan pengetahuan (tsaqâfah) Islam. Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu:
  1. Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi saw., Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih, dll.
  2. Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.
Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni/IPTEKS). Menguasai IPTEKS diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll. Begitu pula dengan penguasaan terhadap seni, dimana seni merupakan sesuatu yang dibutuhkan pula baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menyelaraskan teknologi dengan fitrah manusia yang menyenangi keindahan (sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syara’).
Keempat, memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT. Sebagaimana penguasaan IPTEKS, Islam juga menjadikan penguasaan keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu jika keterampilan tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan, pertukangan, dan lainnya.
2. Pendidikan Islam Adalah Pendidikan Terpadu
Agar keluaran pendidikan menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem pendidikan yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul. Dalam hal ini, minimal ada 3 hal yang harus menjadi perhatian, yaitu:
Pertama, sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar. Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimal. Apalagi jika pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Kedua, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya. Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan mulai dari tingkat TK hingga PT, muatan tsaqâfah Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.
Pada tingkat dasar atau menjelang usia baligh (TK dan SD), penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya. Khalifah Umar bin al-Khaththab, dalam wasiat yang dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya, menuliskan, “Sesudah itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka adab sopan-santun dan syair-syair yang baik.”
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalb, guru anaknya, “Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku. Saya mempercayaimu untuk mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Pertama, saya mewasiatkan kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya al-Quran, kemudian hafalkan kepadanya al-Quran…”
Di tingkat Perguruan Tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme, misalnya, dapat diperkenalkan kepada kaum Muslim setelah mereka memahami mabda Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain mabda Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan dan dipahami cacat-celanya serta ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia, agar menjadi pemahamaan untuk menguraikan kerusakan mabda selain islam tersebut.
Ketiga, berorientasi pada pembentukan tsaqâfah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target yang harus dicapai. Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan pendidikan.
3. Pendidikan Adalah Tanggung Jawab Negara
Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw. Bersabda: “Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Perhatian Rasulullah saw. Terhadap dunia pendidikan tampak ketika beliau menetapkan para tawanan Perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang anak kaum muslimin Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Dalam pandangan Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, Rasulullah saw. Telah menjadikan biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan yang seharusnya milik Baitul Mal. Dengan kata lain, beliau memberikan upah kepada para pengajar (yang tawanan perang itu) dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal. Kebijakan beliau ini dapat dimaknai, bahwa kepala negara bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan.
Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al-Ihkâm, menjelaskan bahwa kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam, kita akan melihat begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap pendidikan rakyatnya. Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah bin Atha’ yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas). Jika harga 1 gram emas=Rp 200.000,00, maka gaji seorang pendidik yang diberikan oleh Daulah Khilafah sejak 13 abad yang lalu jumlahnya mencapai Rp 12.750.000,00 (subhanallah), sungguh merupakan angka yang fantastis, apalagi jika dibandingkan dengan saat ini dimana berlangsungnya sistem ekonomi kapitalisme telah nyata sangat tidak menghargai peran pendidik, semisal upah yang didapatkan seorang guru honorer hanya berkisar Rp 5.000-30.000 untuk setiap jam pelajaran dengan perhitungan kerja riil satu bulan namun gajinya hanya dihitung satu minggu.
Perhatian para khalifah tidak hanya tertuju pada gaji pendidik dan sekolah, tetapi juga sarana pendidikan seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada masa Kekhilafahan Islam, di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja‘far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberi pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut ar-Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi pada masa Kekhalifahan Islam abad 10 M. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya.
4. Sistem Pendidikan Islam bersifat Multidisipliner
Sistem pendidikan Islam juga sekaligus merupakan sub sistem yang tak terlepas dari pengaruh sub sistem yang lain dalam penyelenggaraannya. Sistem ekonomi, politik, sosial-budaya, dan idoelogi akan sangat menentukan keberhasilan penyelenggaran sistem pendidikan yang berbasiskan aqidah dan syari’ah islam. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa dengan sistem ekonomi yang islami maka penyediaan dana pendidikan akan menjadi perhatian penting negara agar dapat dialokasikan dari kas negara dalam jumlah yang memadai, yang sumber-sumbernya dapat diperoleh dari hasil pengelolaan kepemilikan umum yang saat ini di Indonesia misalnya, jumlahnya masih melimpah seperti barang tambang, mineral, hasil hutan, kekayaan laut, maupun dari hasil penyitaan kembali asset rakyat yang dikorupsi oleh para pejabat, pemerintah, dan pengusaha. Sistem politik yang islami akan mengarahkan penguasa untuk mengambil kebijakan yang berpihak pada rakyat sebagai konsekuensi dari aktifitas politiknya yaitu riayah syu’unil ummah (mengatur urusan-urusan ummat) termasuk kebijakan dalam bidang pendidikan yang harus didasarkan pada aqidah dan syari’ah islam. Sistem sosial-budaya yang islami akan mengarahkan masyarakat memiliki perspektif yang benar tentang wajibnya berpendidikan, memiliki motivasi yang tinggi untuk menggali ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan dan menciptakan berbagai kreasi yang bermanfaat untuk kemaslahatan hidup. Selain itu sistem sosial-budaya yang islami juga akan mampu menjadi filter dan pengendali terhadap berbagai aktifitas yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat, dimana satu sama lain akan menyadari tentang kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar, yang dengan aktifitas ini maka hasil pendidikan di sekolah dapat bersinergi dengan pengaplikasiannya di masyarakat. Adapun ideologi, merupakan aspek yang sangat berpengaruh terhadap pendidikan karena antara keduanya saling mempengaruhi, yakni pendidikan merupakan salah satu proses menginternalisasikan ideologi kepada semua warga negara dan ideologi merupakan asas bagi penyelenggaran sistem pendidikan tersebut.
Dengan demikian maka pengaruh berbagai sistem lainnya terhadap keberhasilan penyelenggaran sistem pendidikan islam memiliki keterkaitan yang erat. Sedangkan Boundary (sistem yang menaungi semua sistem) terhadap berbagai sistem tersebut adalah sistem pemerintahan/ negara. Oleh karenanya penjuangan terhadap terlaksananya sistem pendidikan yang berbasis syari’ah juga tidak terlepas dari perjuangan terhadap wajibnya menegakan kembali institusi Daulah Khilafah Islamiyah sebagai institusi yang akan menjamin penerapan hukum-hukum islam dalam semua aspek secara kaffah.
Continue Reading | komentar (1)

Pendidikan Politik

Sabtu, 15 September 2012

akhir-kahiar ini, kami gerakan mahasiswa nasional indonesia melihat apabila mendekati masa pemilu  banyak para pemimpin merasa berhasil menjalankan tugas dengan sangat baik dan sering mengungkapkan keberhasilannya di depan publik. Mulai dari membangun infrakstruktur, membangun sekolah, menyediakan lapangan kerja dan pengangkatan guru honorer atau tidak korupsi (pemimpin bersih).
Para pemimpin seakan-akan masyarakat diajarkan harus mengucapkan terima kasih kepadanya, dengan cara  harus memilih dirinya kembali karena telah berhasil.
Tapi kalau kita boleh kritis bukankah keberhasilan itu, hanyalah keberhasilan yang stndar saja, biasa saja dan tidak istimewa bukankah membangun infrakstruktur, membangun sekolah, menyediakan lapangan kerja dan pengangkatan guru honorer atau tidak korupsi adalah memang tugas yang wajib dia lakukan dan memang untuk itu dia dipilih dan digaji oleh rakyat.
Bahkan menurut kami keberhasilan-keberhasilan itu hanyalah bingkai politik pencitraan dari sang pemimpin, bahkan nuansa itu begitu kental ketika mendekati pemlihan, mulailah semuah sumber daya dikerahkan diatas tataran normal untuk menggenjot pembangunan.
Lainhal apabila pemimpin itu melakukan hal yang luar biasa (melakukan diatas tataran standar tugasnya) seperti tidak menerima gaji di atas kebutuhan hidupnya bahkan seharusnya tidak makan sebelum rakyat yang dia pimpin makan. Barulah pantas dikatakan bahwa sang pemimpin telah sukses menjalankan tugasnya
Jadi omong besar jika ada yang mengklaim bahwa keberhasilan pembangunan dikaitkan dengan individu sang pemimpin. Tapi Kita juga bukan orang yang tak tahu terima kasih kepada para pemimpin, yang tidak menghargai keberhasilan.tetap kita hargai keberhasilan-keberhasilan yang dicapai, tapi  kata yang ditekankan itulah yang ingin kita koreksi, bahwasanya pemimpin itu telah sukses, tapi harusnya dikatakan bahwa pemimpin itu telah menjalankan tugasnya dengan baik.
Melalui tulisan ini kami berharap bahwa terjadi proses pemahaman dan pendidikan politik bagi pemimpin dan kita (masyarakat), dengan tujuan menciptakan masyarakat yang cerdas.
Continue Reading | komentar (1)

Masalah Pendidikan di Indonesia

Minggu, 09 September 2012

Masalah pendidikan yang dialami oleh Indonesia hingga saat ini belum saja tertuntaskan ,banyak anak-anak jalanan mengamen , mengemis dan berjualan koran,padahal di usia mereka bukan waktunya untuk bekerja, tugas mereka adalah mengeyam pendidikan selama 12 tahun untuk masa depan mereka yang lebih baik lagi.

 
liatlah gambar diatas,terlihat seorang bocah meminta-minta dan mengemis belas kasian,,, dimanakah orang tua mereka?
seharusnya mereka di bimbing dan di beri pendidikan yang layak.
dalam undang-undan dasar pasal 8 no 23/2002 tentang penjaminan anak jalanan di asuh oleh pemerintah.tidak terlaksana dengan baik
lihatlah para pejabat tinggi yang berpergian ke luar negeri hanya untuk kepentingan pribadi tidak memikirkan gimana rakyatnya nanti..
                                                                                              Yang saya harapkan semoga negeri ini menjadi negeri yang adil makmur,sejahtera,religius maju dan mandiri.

Continue Reading | komentar

Realita Bangsa :: Pendidikan di Indonesia saat ini

Potret Pendidikan di Indonesia
Pendidikan merupakan kunci utama bagi bangsa yang ingin maju dan unggul dalam persaingan global. Pendidikan adalah tugas negara yang paling penting dan sangat strategis. Sumber manusia yang berkualitas merupakan prasyarat dasar bagi terbentuknya peradaban yang lebih baik dan sebaliknya, sumber manusia yang buruk akan menghasilkan peradaban yang buruk. Melihat realitas pendidikan pendidikan di negeri ini masih banyak masalah dan jauh dari harapan. Bahkan jauh tertinggal dari Negara-negara lain.
Masalah pendidikan di Indonesia ibarat enang kusut. Banyak permasalahan yang terjadi di dalam pendidikan Indonesia bukan hanya sistem pendidikannya tetapi pelaku yang ada didalamnya. Lihat saja, banyak pelanggaran yang terjadi seperti banyak pelajar melakukan tawuran, narkoba, free sex , bahkan ada oknum guru yang harus jadi panutan melakukan pelanggaran yaitu membiarkan kecurangan yang terjadi saat UN dengan alasan agar para siswanya lulus 100% . sungguh, ini merupkan keadaan yang sangat ironis.
Mirisnya lagi yang bisa mengenyam pendidikan kebanyakan orang-orang golongan atas , yang memiliki uang lebih dan sementara orang-orang dari golongan bawah hanya bisa diam dan tak tahu harus berbuat apa. Lihatlah pada realitanya banyak calon calon generasi penerus bangsa tidak bersekolah dan alasannya terkait biaya pendidikan terlalu mahal. Akibat kondisi seperti ini, terjadi pengganguran dimana-mana, kriminalitas menjadi hal yang utama  menjadi pekerjaan mereka, kemiskinan pun menjadi lingkaran setan yang sulit diputuskan. Beginalah realita bangsa Indonesia. Berikut jejak-jejak pendapat beberapa masyarakat berbagai profesi mengenai pendidikan di Indonesia khususnya wilayah Bandung :
Dosen
Pak Haji Asep, biasa disapa oleh orang-orang sekitar. Beliau merupakan dosen UNISBA yang mengajar salah satu mata kuliah yang ada di Unisba. Beberapa dari kami mencoba mewawancarai beliau mengenai sistem pendidikan di Indonesia terkhusus di wilayah Bandung.
Menurut pak haji Asep, pendidikan di kota bandung tidaklah jauh berbeda dengan kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Surabaya, Jogjakarta dan lainnya. Sejak diadakannya SNMPTN undangan, maka disitulah letak mulainya penyamarataan pendidikan di seluruh Indonesia mulai dari tingkat SD hingga Universitas. “Untuk pendidikan di Bandung sendiri sudah cukup baik” ujar beliau, kurikulum yang diajarkann sudah berstandar nasional untuk semua tingkatan pendidikan.
Pendidikan dirasa sangat penting saat ini. Jika tidak, mengapa pemerintah mewajibkan program 9 Tahun belajar bukan?
“Coba bayangkan dunia tanpa pendidikan, pasti kita akan kembali lagi ke hukum rimba” kata pak Asep.  Pendidikan lah yang menuntun kita ke peradaban ini. Tanpa pendidikan, mustahil kita dapat menciptakan perkembangan yang begitu rumit hingga didapat teknologi yang memudahkan kehidupan kita saat ini.
Banyak permasalahan pendidikan yang dihadapi Kota Bandung, salah satunya adalah ketidak ikutsertaan anak yang harusnya mengikuti pendidikan dikarenakan masalah ekonomi yang melanda keluarga mereka. Kemudian banyak diantara mereka yang kemudian menjadi anak jalanan, dan menjadi sumber kekacauan, salah satunya geng motor yang marak akhir-akhir ini. Menurut beliau, hal itu disebabkan oleh kurang meratanya program pemerintah di kota Bandung untuk menyekolahkan anak yang seharusnya berada di bangku sekolah.
Dan Harapan untuk kedepannya bahwa pemerintah lebih memperhatikan kondisi perekonomian yang terjadi tidak hanya di kota Bandung tetapi juga di seluruh Indonesia agar semua bagian masyarakat dapat menikmati pendidikan yangs sekarang mungkin hanya dirasakan oleh kaum yang dapat dikatakan berkecukupan secara ekonomi.
Pedagang Tradisional
Ibu Yuhelmi adalah seorang pedagang aksesoris-wanita di pasar Simpang Dago. Ia berusia 42 tahun. Ibu Yuhelmi mempunyai 2 orang anak, yang satu pelajar kelas 6 SDN Coblong dan yang satu lagi kelas 1 SMAN 1 Bandung. Menurut perantau asal Padang ini, pendidikan di kota Bandung sudah cukup baik. Fasilitas yang disediakan pun  sudah dinilai memadai. Penyelenggaraan BOS (Bantuan Operasional Sekolah)  juga dinilai sangat membantu karena dengan adanya BOS, anak Ibu Yuhelmi yang sedang mengenyam bangku sekolah dasar ini bisa menikmatinya dengan gratis. BOS juga membantu penyediaan fasilitas seperti buku dan lainnya.
Namun sangat disayangkan, 2 bulan terakhir ini dana BOS tidak keluar dan Ibu Yuhelmi harus membayar biaya ujian anaknya. Sementara itu, Ibu Yuhelmi tidak merasa biaya SPP anaknya yang mengenyam pendidikan sekolah menengah atas terlalu mahal. “Biayanya standar, yaa tidak mahal dan tidak murah” begitu akui pedagang yang sudah mulai berdagang tahun 1995 ini.
Ibu yang berlatar pendidikan SMA ini menganggap pendidikan sangatlah penting agar kita pintar dan tidak dibodohi orang dan lebih jauh lagi agar bangsa ini maju dan berkembang.
Harapan Yuhelmi sendiri terhadap pendidikan di Indonesia adalah agar pendidikan bisa diselenggarakan gratis 100% dan semakin maju.
Siswa SMA
Gifary adalah seorang murid sekolah menengah atas dari SMA Negeri 2 Bandung. Ia berumur 17 tahun dan berencana melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi Institut Teknologi Bandung. Menurutnya, pendidikan di Indonesia khususnya di Bandung, masih kurang memuasakan, karena masih banyak anak-anak yang tidak sekolah dan dia merasa bahwa kualitas sekolah di Bandung belum merata, dia juga mengungkapkan bahwa kualitas pendidikan di Bandung sudah bagus dan menjadi salah satu unggulan di Indonesia dalam bidang pendidikan, terlepas dari ketidakmerataan kualitas tadi. Pendidikan menurut Gifary sangat lah penting, karena zaman sekarang pendidikan merupakan kebutuhan yang tak terelakkan apalagi untuk masuk ke dunia kerja, pendidikan juga penting karena merupakan sarana untuk kita menimba ilmu juga belajar tentang etika maupun moral. Gifary menuturkan, manfaat yang dirasakan dari pendidikan sangatlah banyak seperti yang disebutkan sebelumnya yaitu sarana untuk menimba ilmu, belajar etika dan moral, apalagi jika bersekolah di sekolah formal, maka manfaatnya lebih terasa lagi, seperti menambah teman, dapat mengembangkan bakat melalui kegiatan ekstrakulikuler, dapat aktif berorganisasi, dan masih banyak lagi.
Ketika disinggung mengenai permasalahan pendidikan di Bandung, Gifary menuturkan bahwa masih banyak masalah yang terjadi pada pendidikan di Bandung, seperti yang diungkapkan di atas tadi bahwa masih banyak anak-anak putus sekolah bahkan tidak bersekolah, masih mahalnya biaya sekolah, juga kualitas sekolah-sekolah di Bandung yang masih belum merata, lalu masalah kesenjangan antara satu sekolah satu dengan sekolah lainnya juga merupakan salah satu masalah yang perlu diperhatikan. Gifary berharap untuk kedepannya pemerintah dapat meningkatkan pemerataan pendidikan, menambah sekolah-sekolah untuk orang yang kurang mampu, menambah subsidi untuk biaya pendidikan, mengurangi kesenjangan antar sekolah, dan terus memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia khusunya di Bandung.
Pengunjung Mall
Kelompok kami mencoba kembali mencari jejak-jejak pendapat mengenai pendidikan di Indonesia khususnya kota Bandung. Dan kami menemukan pengunjung mall BIP. Bapak Indi, itu sapaan beliau, saat ini beliau berumur 30 tahun dan telah memiliki istri serta dua orang anak. Bapak Indi kelulusan S1 ini sekarang bekerja sebagai wiraswasta di salah satu perusahaan di Bandung. Menurut beliau, pendidikan itu penting karena dibutuhkan untuk mencari pekerjaan. Selain pendidikan itu penting juga karena dapat melatih pola pikir kita dan mendapatkan ilmu-ilmu yang berguna untuk dunia kerja.
Menurutnya pendidikan di sekolah tidak menjamin lulusan-lulusannya, karena kualitas individulah yang menentukan. Saat ditanya mengenai orang yang tidak mempunyai kesempatan mendapat pendidikan, bapak ini menjawab bahwa pendidikan dapat diperoleh di mana saja, tidak harus di sekolah, sekolah itu hanya untuk status saja jelasnya. Menurutnya masih lebih baik mempunyai keahlian tapi tidak sekolah daripada bersekolah tetapi tidak mempunyai keahlian.
Bapak Indi memberi masukan untuk para pelajar agar dapat merubah pola pikir. Jadi, para pelajar harus bersekolah benar-benar dengan tujuan untuk mencari ilmu, tidak hanya untuk bekerja. Beliau juga menekankan, jika ada usaha pasti ada jalan, jadi tidak ada alasan untuk tidak memiliki pendidikan.
Pengamen
Di usianya yang baru menginjak 13 tahun Arul sudah tidak lagi bersekolah. Dia hanya menempuh pendidikan hingga kelas 3 SD. Arul keluar dari sekolah karena sering bolos untuk bekerja. Walaupun sudah tidak belajar di sekolah umum seperti anak lainnya, dia masih bersekolah di rumah belajar yang terletak di kolong jembatan dekat tempat tinggalnya.
Arul telah mengamen selama tujuh tahun. Kakaknya seorang supir angkot dan adiknya juga mengamen. Meskipun begitu dia tetap bercita-cita menjadi pilot. Menurutnya pendidikan itu sangat penting, tetapi dia tidak dapat melanjutkan pendidikan karena tidak mempunyai biaya.
Masalah pendidikan untuk Arul yaitu dia tidak berkesempatan mendapat pendidikan di sekolah karena harus bekerja. Harapan dia ke depannya yaitu agar dia dapat menempuh pendidikan secara gratis.
Pengemis
Ibu Lilis itu sapaan beliau. Beliau merupakan pengemis disalah satu simpang jalan di kota Bandung. Umur beliau saat ini adalah 30 tahun, Ibu Lilis mempunyai 2 orang anak. Yang pertama telah duduk di bangku smp dan yang kedua masih di taman kanak-kanak. Ibu Lilis sendiri adalah lulusan SD. Alasan ibu ini tidak bekerja karena harus mengurus anak-anaknya dan terpaksa menjadi pengemis karena sulit mencari pekerjaan yang hanya bermodal ijazah SD.
Menurut beliau pendidikan itu penting. Untuk itu beliau berusaha mencari uang untuk biaya sekolah kedua anaknya. Pendapat beliau tentang masalah pendidikan di Indonesia khususnya kota Bandung yaitu sulitnya mendapatkan biaya pendidikan anak-anaknya karena bisa dikatakan saat ini biaya pendidikan sangat mahal. “Untuk makan pun susah, apalagi menyekolahkan anak-anak sampai kuliah” Ujar beliau.
Harapan beliau kedepannya ingin terus menyekolahkan anaknya dan memiliki modal untuk usaha. Dan setidaknya pemerintah peduli akan nasib seperti ibu Lilis ini dan dapat memberi bantuan dana berupa sekolah gratis untuk anak-anak mereka.
Ketua RT
Pak Darojat nama sapaan beliau, kini beliau telah menginjak usia 59 tahun. Tetapi semangat beliau masih terpancar. Beliau sendiri peduli akan permasalahan yang terjadi di Indonesia ini terutama dalam bidang pendidikan. Beliau menuturkan pendidikan di Indonesia belum bisa dikatakan sehebat luar negeri. Masih banyak permasalahan yang terjadi di Indonesia ini, Contohnya ujian nasional yang sistemnya kurang bagus seperti adanya penjagaan yang tidak perlu, adanya doa bersama para siswa-siswa yang hendak menempuh ujian. Bahkan, adanya sejumlah siswa yang menempuh jalur kotor dengan menggunakan kunci. Seandainya pendidikannya bagus dan berkualitas, tidak akan terjaid hal-hal seperti di atas dan tentu tingkat kelulusannya tidak akan setinggi itu.
Beliau menuturkan bahwa pendidikan itu sangat penting, karena segala sesuatunya sangat memerlukan pendidikan, seperti pendidikan formal maupun non-formal. Karena pendidikan merupakan pembentuk moral dan akal pikiran manusia. “Manfaatnya adalah dapat mencerdaskan manusia yang mula-mula tidak tahu menjadi tahu” Ujar pak Darojat yang berprofesi sebagai pegawai swasta. Tetapi ada permasalahan yang terjadi di Indonesia dan telah mendarah daging yaitu Biaya pendidikan yang mahal, meskipun untuk beberapa SD, SMP, dan SMA sudah tidak ditarik uang. Namun tetap saja pendidikan membutuhkan biaya, untuk merawat infrastruktur-infrastruktur sehingga seharusnya tidak harus gratis sepenuhnya. Untuk swasta masih sulit untuk menggratiskan biaya dan memang harus mengeluarkan biaya karena tidak ditanggung pemerintah.
Harapan beliau adalah agar semua kalangan menikmati pendidikan seperti yang dijanjikan oleh pembukaan UUD 1945. Pendidikan gratis untuk semua.
Ketua RW
“Menurut pendapat saya pendidikan di Indonesia sudah cukup baik, sudah banyak institusi – institusi pendidikan yang memang kualitasnya patut diberi apresiasi yang tinggi dari mulai jenjang yang paling rendah sampai universitas sekalipun.” Ujar pak Maman, laki-laki paruh baya berusia 43 tahun. Selain itu juga beliau mengutarakan bahwa pendi dkan itu sangat penting. Karena mengingat urgensi pendidikan saat ini sangat diperlukan untuk menjawab semua tantangan zaman yang semakin hari semakin meningkat. Manfaat dalam pendidikan menurut pak Maman adalah Manfaat pendidikan memang tidak dirasakan langsung seketika ketika proses pendidikan itu dilaksanakan, manfaanya akan terasa ketika hasil dari proses pendidikan itu benar – benar diimplementasikan di masyarakat. Tetapi sayangnya manfaat itu tidak dirasakan oleh semua orang. “rakyat menengah kebawah seperti kami- kami ini ya terkait biaya pendidikan yang semakin hari semakin mahal saja.” Ujar beliau. Pak Maman mengaku kecewa terhadap pemerintah karena Banyak iklan yang menyebutkan bahwa saat ini sekolah gratis, ada dana bantuan operasional sekolah juga namun kenyataannya masih ada saja biaya – biaya yang tidak sedikit yang harus dikeluarkan untuk mendapat pendidikan yang layak.
Harapan beliau adalah semoga pendidikan di Indonesia bias semakin maju, mencetak generasi- generasi yang peduli keadaan sekitarnya, dan mudah –mudahan biaya pendidikan di Indonesia bias lebih terjangkau dengan tidak mengesampingkan kualitas..
Continue Reading | komentar

Masalah Pendidikan di Indonesia

Peran Pendidikan dalam Pembangunan


Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.

Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.

Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan


Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”

Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas


”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.

Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan


Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.
Continue Reading | komentar

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

 
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
          Kita seharusnya bangga hidup di Negara yang kaya akan hal , seperti Negara kita yang kaya akan budayanya . Negara kita kaya akan nilai budi pekertinya seperti nila moral , nilai nilai social ,dll . Banyak Negara – Negara tetangga iri atau menginginkan budaya – budaya kita menjadi hak milik Negara tetangga tersebut , jika kita tidak mempertahankan budaya tersebut maka kita jangan berharap anak cucu kita akan melihat budaya – budaya asli Indonesia . Mungkin dengan menumbuhkan rasa Nasionalisme atau rasa cinta tanah air pada diri kita masing-masing kita akan menghargai budaya – budaya kita sendiri dan jasa – jasa para pahlawan kita yang telah mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga akhirnya merdeka sampai saat ini . Banyaknya masyarakat yang tidak mempunyai rasa Nasionalisme atau rasa cinta tanah air membuat penulis terunggah untuk mendalami pentingnya mempelajari Pendidikan Kewarganegaraan agar penulis bisa menganalisa lebih dalam lagi . Pendidikan Kewarganegaraan wajib untuk didapatkan oleh masyarakat agar rasa nasionalisme terhadap Negara kita tetap terjaga . Lembaga/institusi pendidikan merupakan sarana utama dalam memberi pembelajaran bagi masyarakan .
            Begitu pentingya bagi kita untuk mempelajari Pendidikan Kewarganegaraan sejak dini merupakan keharusan bagi kita untuk mempelajarinya agar kita lebih memahami dan melaksanakan kehidupan bernegara dan berbangsa .
Identifikasi Masalah
Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
• Latar Belakang Pendidikan  Kewarganegaraan
• Landasan Hukum Pendidikan Kewarganegaraan
• Pengertian dan Pemahaman Tentang Bangsa dan Negara

Batasan Masalah
Agar masalah pembahasan tidak terlalu luas dan lebih terfokus pada masalah dan tujuan dalam hal ini pembuatan makalah ini, maka dengan ini penyusun membatasi masalah hanya pada ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan .


BAB II
Pembahasan

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Latar Belakang diadakannya kewarganegaraan adalah bahwa semangat perjuangan bangsa yang merupakan kekuatan mental spiritual telah melahirkan kekuatan yang luar biasa dalam masa perjuangan fisik, sedangkan dalam menghadapi globalisasi untuk mengisi kemerdekaan kita memerlukan perjuangan nono fisik sesuai dengan bidang profesi masing – masing. Perjuangan ini dilandasi oleh nilai – nilai perjuangan bangsa sehingga kita tetap memiliki wawasan dan kesadaran bernegara, sikap dan prilaku yang cinta tanah air dan mengutamakan persatuan serta kesatuan bangsa dalam rangka bela negara demi tetap utuh dan tegaknya NKRI.
Dengan itu kita sebagai generasi muda diharapkan menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, sikap serta perilaku cinta tanah air dan bersendikan kebudayaan, wawasan nusantara serta ketahanan nasional dalam diri para mahasiswa sebagai calon sarjana yang sedang mengkaji dan akan menguasai IPTEK dan seni.
LANDASAN HUKUM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Adapun landasan hukum yaitu sebagai berikut:
  1. UUD 1945
    • Tujuan dan aspirasi bangsa indonesia tentang kemerdekaan yang tercantum pada alenia kedua dan keempat Pembukaan UUD 1945.
    • Hak dan kewajiban setiap warga negara untuk ikut serta dalam pembelaan negara yang tercantum pada pasal 30 ayat (1) UUD 1945.
    • Hak setiap warga negara untuk memperoleh pengajaran yang tercantum pada Pasal 31 ayat (1) UUD 1945.
  2. Keputusan Bersama Mendikbud dan Menhankam (Pangab)
Nomor 0221U/1973 Tanggal 8 Desember
KEP/B43/XIII/1967
Keputusan tersebut menetapkan realisasi pendidikan bela Negara melalui jalur
pengajaran/pendidikan khususnya pendidikan tinggi.
  1. UUD No.20/1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahanan keamanan Negara republik Indonesia dalam lembaran Negara 1982 No. 51 TLN 3234
  2. Surat Keputusan Bersama Mendikbud dan Menhankam
Nomor061U/1985 Tanggal 1 Februari
KEP/002/II/1985
  1. UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
  2. Keputusan Mendiknas No. 232/U/2000
  3. Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/KEP/2000
Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
1. Tujuan Umum. Memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa mengenai hubungan antara warganegara dengan negara, hubungan antara warganegara dengan warganegara, dan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara agar menjadi warganegara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.
2. Tujuan Khusus. Agar mahasiswa memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur dan demokratis serta ikhlas sebagai Warganegara Republik Indonesia yang terdidik dan bertanggung jawab.
a. Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta dapat mengatasi dengan pemikiran kritis dan bertanggung jawab yang berlandaskan Pancasila, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
b. Agar mahasiswa memiliki sikap perilaku sesuai nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air, rela berkorban bagi nusa dan bangsa.


Pengertian Dan Pemahaman Tentang Bangsa Dan Negara
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Bangsa adalah orang–orang yang memiliki kesamaan asal keturunan, adat, bahasa dan sejarah serta
Di dalam berpemerintahan sendiri. Atau bisa diartikan sebagai kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan wilayah tertentu dimuka bumi.
Jadi Bangsa Indonesia adalah sekelompok manusia yang mempunyai kepentingan yang sama dan menyatakan dirinya sebagai satu bangsa serta berproses di dalam satu wilayah Nusantara/Indonesia.
Negara adalah suatu organisasi dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang sama–sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengetahui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia
Atau bisa diartikan sebagai satu perserikatan yang melaksanakan satu pemerintahan melalui hukum yang mengikat masyarakat dengan kekuasaan untuk memaksa bagi ketertiban sosial.
1. Teori terbentuknya negara
a.   Teori Hukum Alam  (Plato dan Aristoteles).
Kondisi Alam => Berkembang Manusia => Tumbuh Negara.
b.   Teori Ketuhanan
Segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan, termasuk adanya negara.
c.   Teori Perjanjian (Thomas Hobbes)
Manusia menghadapi kondisi alam dan timbullah kekerasan, manusia akan musnah bila ia tidak mengubah cara–caranya. Manusia pun bersatu (membentuk negara) untuk mengatasi tantangan dan menggunakan persatuan dalam gerak tunggal untuk kebutuhan bersama.
Di dalam prakteknya, terbentuknya negara dapat pula disebabkan karena :
a.   Penaklukan.
b.   Peleburan.
c.   Pemisahan diri
d.    Pendudukan atas negara/wilayah yang belum ada pemerintahannya.
2. Unsur Negara
a.    Konstitutif.
Negara meliputi wilayah udara, darat, dan perairan (unsur perairan tidak mutlak), rakyat atau masyarakat, dan pemerintahan yang berdaulat
b.    Deklaratif.
Negara mempunyai tujuan, undang–undang dasar, pengakuan dari negara lain baik secara de jure dan de facto dan ikut dalam perhimpunan bangsa–bangsa, misalnya PBB.
3. Bentuk Negara
a. Negara kesatuan
1. Negara Kesatuan dengan sistem sentralisasi
2. Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi
b. Negara serikat,  di dalam negara ada negara yaitu negara bagian.
Pemahaman Hak Dan Kewajiban Warga Negara
a. Hak warga negara.
Hak–hak asasi manusia dan warga negara menurut UUD 1945 mencakup :
*      Hak untuk menjadi warga negara (pasal 26)
*      Hak atas kedudukan yang sama dalam hukum (pasal 27 ayat 1)
*      Hak atas persamaan kedudukan dalam pemerintahan (pasal 27ayat 1)
*      Hak atas penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2)
*      Hak bela negara (pasal 27 ayat 3)
*      Hak untuk hidup (pasal 28 A)
*      Hak membentuk keluarga (pasal 28 B ayat 1)
*      Hak atas kelangsungan hidup dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi bagi anak (pasal 28 B ayat 2)
*      Hak pemenuhan kebutuhan dasar (pasal 28 C ayat 1)
*      Hak untuk memajukan diri (pasal 28 C ayat 2)
*      Hak memperoleh keadilan hukum (pasal 28 d ayat 1)
*      Hak untuk bekerja dan imbalan yang adil (pasal 28 D ayat 2)
*      Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (pasal 28 D ayat 3)
*      Hak atas status kewarganegaraan (pasal 28 D ayat 4)
*      Kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali (pasal 28 E ayat 1)
*      Hak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai denga hati nuraninya (pasal 28 E ayat 2)
*       Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (pasal 28 E ayat 3)
*      Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi (pasal 28 F)
*       Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda (pasal 28 G ayat 1)
*      Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia (pasal 28 G ayat 2)
*      Hak memperoleh suaka politik dari negara lain (pasal 28 G ayat 2)
*      Hak hidup sejahtera lahir dan batin (pasal 28 H ayat 1)
*      Hak mendapat kemudahan dan memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama (pasal 28 H ayat 2)
*      Hak atas jaminan sosial (pasal 28 H ayat 3)
*      Hak milik pribadi (pasal 28 H ayat 4)
*      Hak untuk tidak diperbudak (pasal 28 I ayat 1)
*      Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (pasal 28 I ayat 1)
*      Hak bebas dari perlakuan diskriminatif (pasal 28 I ayat 2)
*      Hak atas identitas budaya (pasal 28 I ayat 3)
*      Hak kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan (pasal 28)
*      Hak atas kebebasan beragama (pasal 29)
*      Hak pertahanan dan keamanan  negara (pasal 30 ayat 1)
*      Hak mendapat pendidikan (pasal 31 ayat 1)
b. Kewajiban warga negara antara lain :
*      Melaksanakan aturan hokum
*      Menghargai hak orang lain.
*      Memiliki informasi dan perhatian terhadap kebutuhan–kebutuhan masyarakatnya.
*      Melakukan kontrol terhadap para pemimpin dalam melakukan tugas–tugasnya
*     Melakukan komuniksai dengan para wakil di sekolah, pemerintah lokal dan pemerintah nasional.
*      Membayar pajak
*      Menjadi saksi di pengadilan
*      Bersedia untuk mengikuti wajib militer dan lain–lain.
c. Tanggung jawab warga negara
Tanggung jawab warga negara merupakan pelaksanaan hak (right) dan kewajiban (duty) sebagai warga negara dan bersedia menanggung akibat atas pelaksanaannya tersebut.
Bentuk tanggung jawab warga negara :
*      Mewujudkan kepentingan umum
*      Ikut terlibat dalam memecahkan masalah–masalah bangsa
*      Mengembangkan kehidupan masyarakat ke depan (lingkungan kelembagaan)
*      Memelihara dan memperbaiki demokrasi
d. Peran warga Negara
 Ikut berpartisipasi untuk mempengaruhi setiap proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan publik oleh para pejabat atau lembaga–lembaga negara.
Menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan.
 Berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional.
 Memberikan bantuan sosial, memberikan rehabilitasi sosial, mela- kukan pembinaan kepada fakir miskin.
Menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan sekitar.
Mengembangkan IPTEK yang dilandasi iman dan takwa.
Menciptakan  kerukunan umat beragama.
 Ikut serta memajukan pendidikan nasional.
 Merubah budaya negatif  yang dapat menghambat kemajuan bangsa.
 Memelihara nilai–nilai positif (hidup rukun, gotong royong, dll).
 Mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara.
Menjaga keselamatan bangsa dari segala macam ancaman.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Sebagai masyarakat bangsa Indonesia yang telah mempelajari dan memahami seharusnya kita harus menjalankan menjalankan apa saja yang telah kita pelajari tentang Pendidikan Kewarganegaraan . Setelah kita menjalankan apa saja yang kita harus lakukan mengenai Pendidikan Kewarganegaraan  kita harus menanamkan rasa cinta tanah air dan menjadi warga negara yang sadar dan mengenal wawasan nusantara untuk dapat mengisi kemerdekaan dengan menjadi warga yang beradab dan memahami nilai cinta tanah air .

                Dalam kehidupan bernegara kita diatur dan dilindungi oleh UUD 1945 , dimana setiap bentuk pelanggaran , baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili  , tidak mengenal orang itu dari kalangan menengah atau bawah . Karena keadilan adalah milik setiap orang  , setiap orang berhak meminta keadilan jika mereka tidak bersalah dan jika mereka yang bersalah maka seharusnya mereka mendapat hukuman yang sesuai dengan apa yang sudah dilakukannya .
Continue Reading | komentar

Sport

Entertainment

World News

 
Support : Creating Website | Johny Template | Maskolis | Johny Portal | Johny Magazine | Johny News | Johny Demosite
Copyright © 2011. PendidikanTerbaru - All Rights Reserved
Template Modify by Premium Blogger Templates Inspired Blogger Tricks
Proudly powered by Bloggerfree download all